Ayat-Ayat Kyoto
segala yang mendidih dalam kepala
tidak nyata, kecuali sakura
dan kau─tentu saja
gerimis musim semi─
tengkorakku retak;
kau pun menetes-netes ke otak
kita sakura─
gugur sebelum musim semi
tak terlacak pula
Karya: Sapardi Djoko Damono
A. Unsur Intrinsik
Tipografi puisi ini terdiri dari tiga bait seperti puisi pada umumnya. Pada masing-masing bait tersebut terdiri dari tiga larik. Penggunaan tanda penghubung di setiap baitnya, seperti hendak menegaskan lebih dalam lagi akan sesuatu yang akan disampaikan. Selain itu, tipografinya pun dapat mengisyaratkan kesepian yang menyedihkan dari bentuknya yang tidak terlalu panjang dan lebar, serta penggunaan kata-kata yang sedikit. Semua kesepian akhirnya berujung di bait terakhir, terlihat cukup jelas dari jumlah kata yang terus menurun hingga bait terakhir menunjukkan kesedihannya.
Pemilihan diksi pada puisi ini semakin mengisyaratkan kesedihan, terlihat dari diksi “gerimis” pada larik pertama bait kedua dan diksi “gugur” pada larik kedua bait ketiga. Dari diksi-diksi tersebut sepertinya penyair ingin menunjukkan kesedihannya karena kehilangan orang yang dicintainya yang terlihat pada diksi “dan kau─tentu saja” pada larik ketiga bait pertama. Penyair menyatakan bahwa dia masih memikirkan orang tersebut hingga “tengkorakku retak” kemudian seperti “kau punmenetes-netes ke otak.” Karena kepergian orang yang dicintainya itu tidak diduga-duga seolah-olah “tak terlacak” sehingga diibaratkan sakura yang “gugur sebelum musim semi.”
Perpaduan diksi-diksi tersebut telah menjadi gambaran utama sekaligus suasana yang dibawa penyair dalam puisi ini. Diksi yang paling memberi gambaran latar adalah judul, karena langsung merujuk ke sebuah tempat di Jepang yang merupakan tempat tumbuhnya sakura. Sedangkan, sakura adalah diksi yang membawa suasana dalam puisi ini sehingga puisi ini terasa lebih hidup.
Kata konkret yang digunakan untuk mengimajinasikan semua hal tadi berpusat pada satu hal, yaitu bunga sakura. Pertama tokoh kau disebandingkan dengan bunga sakura dan tak akan mungkin dilupakan oleh si penyair “tidak nyata, kecuali sakura /dan kau─tentu saja.” Kemudian, di akhir cerita penyair mengibaratkan dirinya dan tokoh kau sebagai sakura yang gugur sebelum waktunya.
Perasaan kehilangan penyair dikonkretkan dengan kata-kata “segala yangmendidih dalam kepala/tidak nyata” sebagai ungkapan bahwa si penyair belum menerima keadaannya saat itu, yaitu kehilangan orang yang dicintainya.
Rima dalam puisi ini kebanyakan vokal ‘a’ yang terasa menyedihkan ketika berkombinasi dengan ‘i’. Rima dalam bait pertama yaitu, a-a-a. Dalam bait kedua yaitu, i-a-a. Dalam bait ketiga yaitu, a-i-a.
Tema dalam puisi ini adalah kesedihan setelah ditinggal seseorang yang dicintainya dengan latar Kyoto saat gerimis musim semi dan bunga-bunga sakura yang berguguran. Si penyair terus memikirkan seseorang yang meninggalkannya itu, karena tanpa diduga akhirnya meninggalkannya saat seharusnya mereka bahagia dalam keadaannya saat itu.
Pembaca diajak memahami keadaan si penyair sehingga ikut merasakan apa yang dirasakan penyair, yaitu kesedihan. Pembaca pun diajak menikmati keadaan Kyoto pada saat itu, antara nuansa romantis dan dramatis.
Penyair sedang bersikap mencurahkan apa yang sedang ia rasakan sehingga pembaca dapat mencurahkan pula perasaannya pada puisi ini. Setelah itu, pembaca dapat masuk ke dalam alur cerita yang terjadi pada puisi ini.
Amanat dalam puisi ini adalah memasrahkan segala yang terjadi karena dengan begitu kita tidak perlu terbebani dalam pikiran dan jiwa. Seperti pada “kita sakura-/gugur sebelum musim semi” yang menyatakan pula bahwa penyair sudah memasrahkan kepergian seseorang yang dicintainya. Terlihat pula dalam bait-bait yang ada dimana dua bait pertama si penyair terlihat terus memikirkan seseorang tersebut, tetapi pada bait ketiga ia terlihat telah memasrahkan segala hal yang terjadi meskipun itu sangat menyakitkan dan tidak terduga sekalipun.
Citraan dalam puisi ini adalah penglihatan keadaan yang menghasilkan perasaan dengan latar musim semi di Kyoto, sebuah tempat di Jepang. Citraan tersebut dilakukan oleh penyair sejak dari judul hingga pembaca akan langsung mendaratkan imajinasinya di tempat yang diinginkan penyair.
Majas yang terdapat pada puisi adalah majas personifikasi, yaitu mempersamakan benda dengan manusia, hal ini menyebabkan bunga sakura menjadi hidup, berperan menjadi lebih jelas, dan memberikan bayangan angan yang konkret. Majas personifikasi terdapat pada kalimat “kita sakura gugur─ sebelum musim semi.”
Dalam puisi ini ada perlambangan keadaan dan perlambangan suasana, yaitu “tengkorakku retak” dan “gerimis musim semi”. Keduanya menghasilkan suasana yang menyedihkan dan kerinduan setelah ditinggal pergi oleh seseorang.
B. Unsur Ekstrinsik
Sapardi Djoko Damono adalah seorang pujangga Indonesia terkemuka. Beliau lahir di Kampung Baturono, Solo pada Rabu, 20 Maret 1940. Sapardi merupakan anak sulung dari pasangan Sadyoko dan Sapariah. Sadyoko adalah seorang abdi dalem di Keraton Surakarta, mengikuti jejak kakeknya. Bakat Sapardi dalam bidang kesenimanan diwarisi dari kakek dan neneknya. Kakek dari pihak ayahnya gemar membuat wayang dan nenek dari pihak ibunya gemar menembang puisi Jawa dari syair yang dibuatnya sendiri.
Beliau mulai menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Kasatrian, tempat ia bergaul dengan para putra pangeran. Selain itu, ia juga meneruskan jenjang pendidikannya di SMP 2 Mangkunegara, SMA 2 Margoyudan, dan beliau mengambil jurusan Sastra Inggris di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM. Di masa kuliah inilah kesukaannya dalam menulis berkembang. Namun, kegemarannya pada sastra pun sudah mulai tampak sejak ia masih duduk di bangku SMP. Selain dalam negeri, ia juga pernah menempuh kuliah di Universitas Hawaii, Honolulu, Amerika Serikat.
Sapardi menulis puisi sejak kelas 2 SMA. Karyanya dimuat pertama kali oleh sebuah surat kabar di Semarang. Tak lama kemudian, karya-karyanya banyak diterbitkan di berbagai majalah karya sastra dan budaya. Sejak itu, ia tak pernah berhenti berkarya sampai sekarang. Dalam karirnya pun, ia banyak berkutat di bidang sastra. Ia pernah menjadi Dekan di Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya (FIPB) UI, pendiri Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI), anggota Dewan Kesenian Jakarta, dosen di Universitas Diponegoro, dan lain-lain. Beliau juga merupakan salah seorang dari pendiri Yayasan Lontar yang terutama bergerak di bidang penerbitan terjemahan sastra Indonesia dalam bahasa Inggris.
Sapardi telah menghasilkan banyak karya dalam bahasa Indonesia maupun terjemahan dari bahasa asing. Beberapa karyanya yang terkenal yaitu puisi Aku Ingin, Duka-Mu Abadi (1969), Perahu Kertas (1983), Hujan Bulan Juni (1994), dan sebagainya. Karena ketekunannya dalam bidang kepengarangan, beliau mendapat beberapa penghargaan yaitu Cultural Award (1978) dari Australia, Anugerah Puisi Putra (1983) dari Malaysia, SEA-Write Award (1986), Anugerah Seni dari Pemerintah Indonesia (1990), dan lain-lain.
Hal yang dapat kita teladani dari beliau adalah kegigihannya dalam berkarya, sehingga kita semua bisa menikmati berbagai macam hasil karyanya sampai saat ini.
SHARE TO »
Puisinya bagus meskipun hanya sedikit tpi maknanya jelas
ReplyDelete