Analisis Puisi Bunga Karya Sapardi Djoko Damono

BUNGA

Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia rekah di tepi padang waktu hening pagi terbit;
siangnya cuaca berdenyut ketika nampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu;
malam hari ia mendengar seru serigala.
Tapi katanya, "Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!"

Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia kembang di sela-selageraham batu-batu gua pada suatu pagi, dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangm dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api ....
Teriaknya, "Itu semua pemandangan bagi kalian saja, para manusia! Aku ini si bunga rumput: pilihan dewata!"
karya: Sapardi Djoko Damono

A. Unsur Instrinsik
  • Kata dan Pilihan Kata
Penyair hendaknya mencurahkan perasaan dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya seperti yang dialamai batinnya. Setelah iti harus pula mengekspresikan dengan ekspresi yang dapat menjelmakan pengalaman jiwanya tersebut, untuk itu perlulah memilih kata yang tepat atau diksi.
Puisi Bunga dimulai dengan sebuah persoalan menyangkut konstruksi kalimat majemuk. Konstruksi ini menjadi masalah bagi pembaca karena sepotong bagiannya terlesap sehingga diawali dengan kata penghubung bahkan. Apabila kata penghubung seperti ini berfungsi untuk menguatkan isi pernyataan yang dinyatakan sebelumnya, maka pernyataan tersebut didapatkan di dalam teks puisi. Oleh karena itu, kesenjangan seperti ini haruslah dijembatani sendiri oleh pembacanya dengan cara melengkapinya. Berdasarkan pada kalimat pertama puisi tersebut, dapat direkonstruksi, setidak-tidaknya dua kemungkinan :
1) Bukan hanya A, bahkan rumput itupun B;
2) Bukan hanya C, bahkan D itupun berdusta.
Dengan menganggap bahwa A sebagai verba yang menyatakan tindakan selain B, dan B adalah berdusta, maka kemungkinan yang pertama dapat dibaca; bukan hanya menyombongkan diri, bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Dengan adanya kemungkinan ini maka terbentuklah suatu ambiguitas ( makna ganda) yang menghasilkan adanya pengandaian yang seolah-olah pembaca telah mengenal sibunga rumput sebelumnya. Telah diketahui bahwa sifat puisi yang berjarak dan impersonal membuatnya terlepas dari sisi komunikasi empiris, maka kata petunjuk itu di dalam puisi “ bunga” tidak dapat dikatakan deiksis gestural.
Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit;
siangnya cuaca berdenyut ketikanampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu;
malam hari ia mendengar seru serigala.

Tapi katanya, "Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!"

Pada bait puisi ini seakan-akan adanya psoses kehidupan yang baru dimulai terlihat pada kalimat – bunga rumput yang merekah, lalu cuaca berdenyut- mengisyaratkan dimulainya kehidupan. Hanya saja kehidupan yang baru dimulai ini ternyata bersamaan waktunya dengan kehadiran sekawanan burung gagak terbang berputar-putar diatas padang it. Secara konvensional dengan memilih kata-kata ini tampaklah adanya imaji burung gagak yang biasanya menjadi lambang dari maut atau kematian, sehingga dengan bersamaan dengan dimulainya kehidupan, datang pula maut yang bergerak kemana-mana. Disiang hari kehidupan dan kematian hadir serentak.- cuaca-gagak-kehidupan-kematian-.
Pada kata mendengar sebagaimana dengan verba berdusta hanya dapat didahului oleh subjek yang mengandung semantic / insani/. Dimalam hari, meskipun tidak dapat melihat seperti disiang hari, ia masih dapat mendengar seru serigala. Seperti halnya dengan burung gagak, agaknya imaji serigala pun memiliki kecenderungan metaforis yang mirip yakni pada maut. Atau, setidak-tidaknya suara serigala dimalah hari merupakan sesuatu yang menyeramkan, sebuah horror. Jika pagi hari memperlihatkan tentang kehidupan ( bunga rumput merekah) malam hari menjadi kebalikannya. Malam adalah ketiadaan hidup yang total, kecuali seru serigala yang menyuarakan ketakutan akan maut.
Oposisi ini dapat ditengahi oleh siang hari sebagai mediatornya yang menghadirkan kehidupan dan maut secara bersamaan ( cuaca berdenyut dan burung gagak).
Sibunga rumput ternyata menyangkal kejadian yang mengerikan ini. Konjungsi tapi, yang menyatakan hubungn pertentangan dengan apa yang telah dinyatakan sebelumnya, menandai secar eksplisit.

Tapi katanya, "Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!"

Jadi yang disangkalnya memang rasa takut itu. Dilihat sebagai tindak tutur ilokusione (illoctionari act) ucapan sibunga rumput ini bukanlah sebuah pertanyaan melainkan sebuah pernyataan meskipun inonasinya tetap seperti sebuah pertanyaan. Dia menyatakan ketidaktakutannya terhadap “pemandangan-pemandangan” sebelumnya yang diselimuti oleh maut. Sebab kata rasa takut hanya milik manusia, demikian menurut pendapat bunga rumput sedangkan dia merupakan pilihan dewata.
Tentu saja pernyataan itu dapat dianggap pula sebagai sebuah dusta yang lain dari si bunga rumput karena sebenarnya dia pun dapat merasa takut dan bukan pula mahluk pilihan dewata. Apabila sibunga rumput dapat mendengar, melihat, atau berbicara, seperti yang digambarkan sebelumnya maka ia pun sesungguhnya tidak berbeda seperti seorang manusia yang dapat merasakan ketakutan akan maut. Dustanya inilah yang akan membatalkan oposisi antara manusia dan pilihan dewata.
Pada bagian kedua dari puisi “Bunga” tampak adanya kesejajaran dengan bagian puisi sebelumnya. Pembagian formal menjadi dua bagian puisi yang parallel ini bias menandai suatu kesenjangan ruang, yaitu dua buah latar spesial (yang sebelumnya dengan yang sekarang) sehingga perpindahan dengan lokasi kejadiannya ditandai dengan ikonik melalui pembagian tipografi. Lagipula, kesejajaran ini pun Nampak pada si bunga rumput yang belum berubah. Dia masih tetap digambarkan berdusta seperti sebelumnya, meskipun kini ia kembang disela-sela geraham batu-batu tua pada suatu pagi :
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia kembang di sela-selageraham batu-batu gua pada suatu pagi
Kemudian kalimat terakhir bermakna ambigu . meskipun masih dapat dinaturalisasikan melalui penambahan unsurnya yang hilang diantara kata ia dan kembang, penambahan ini sangat tergantung pada kata kembang yang dianggap sebagai nomina (kalimat 1) atau verba (kalimat 2):
1) Ia ( adalah ) kembang disela-sela geraham batu-batu gua pada suatu pagi.
2) Ia ( ber) kembang di sela- sela geraham pada batu-batu gua pada suatu pagi.
Kemungkinan yang kedua ini nampaknya lebih dapat diterima mengingat kesejajarannya dengan kalimat kedua dibagian pertama puisi ini yaitu : ia rekah yang dinaturalisasikan menjadi ia (me)rekah. Sementara itu, pelukisan latar tempat terjadinya peristiwa dalam kalimat ini sekarang berubah menjadi figurative.
Kalimat kedua pada bagian ini merupakan kalimat majemuk yang setiap klausanya dihubungkan dengan kata penghubung dan. Berbeda dengan tapi, kata penghubung ini dapat digunakan untuk menyatakan hubungan keberuntungan atau sekuensialitas, yang mengandaikan bahwa peristiwa yang terjadi sebelumnya memiliki hubungan yang beruntun dengan sesudahnya. Maka setelah bunga rumput itu berkembang dipagi hari, ia menyadari bahwa tak Nampak apa pun di dalamgua itu pada malam harinya. Di sini terjadi peloncatan waktu karena siang dilesapkan. Lompatan waktu seperti ini sangat dimungkinkan mengingat lokasi terjadinya peristiwa adalah di dalam gua yang senantiasa gelap, sehingga perbedaan waktu menjadi nisbi atau terbatalkan. Memang,didalam konteks gua, kategori-kategori waktu seperti pagi, siang, ataupun malam tidak lagi signifikan.
Kalimat panjang ini diakhiri dengan sebuah tanda ellipsis
Ia kembang di sela-selageraham batu-batu gua pada suatu pagi, dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangm dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api ....
(dan setelah api…) dengan kemunculan tanda seperti itu pembaca dibebaskan untuk menentukan kalanjutan peristiwa hutan terbakar yang diangankan oleh sibunga rumput. Dalam hal ini kita tidak akan banyak mengalami kesulitan yang melanjutkannya karena , setidak-tidaknya dia bias membaca tanda ellipsis itu dengan sebuah predikat dan objek ( yang opsional) sejauh tidak merusak kesinambungan maknanya. Misalnya saja, dan setelah api membakar (hutan itu) ia pun…., dan seterusnya.

  • Bahasa kiasan (Bahasa Figuratif)
Kalau dikatakan bahwa bunga rumput itu berdusta maka disini dia telah mengalami proses personifikasi : dikiaskan seakan-akan seorang manusia, sebab verba berdusta mengandaikan subjek yang mengandung cirri semantic /+insani/. Seseorang dikatakan berdusta apabila ia mengatakan sesuatu yang tidak benar atau mengingkari janjinya. Demikian pula sibunga rumput yang mungkin pernah berjanji untuk tidak melakukan sesuatu tetapi janji itu telah diingkarinya. Dia berdusta karena :
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit;
siangnya cuaca berdenyut ketikanampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu;

Pada kalimat kedua menyajikan informasi mengenai latar, tempat dan waktu terjadinya peristiwa. Disini lokasi kejadiannya diungkapkan secara harfiah, berkebalikan dengan latar waktunya yang dilukiskan dengan kiasan metonomia. Suasana pagi (hening) dibayangkan seakan-akan sesuatu yang konkret seperti matahari yang bias terbit. Kemudian suasana malam hari dibayangkan seakan-akan seuatu keadaan sepi yang menyeramkan.
Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit;
siangnya cuaca berdenyut ketikanampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu;
malam hari ia mendengar seru serigala.

Tapi katanya, "Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!"

Setelah sibunga rumput merekah dipagi hari, maka terjadilah peristiwa lain disiang harinya, yaitu cuaca berdenyut. Cuaca perwujudan lain dari waktu, dibayangkan disini seperti jantung dan urat nadi yang dapat berdenyut. Karena jantung dan urat nadi hanya dimiliki oleh mahluk yang bernyawa maka, maka cuaca ( waktu) mengalami pengiasan personifikasi.
Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit;
siangnya cuaca berdenyut ketikanampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu;
malam hari ia mendengar seru serigala.

Tapi katanya, "Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!"

Akhirnya malam harinya pun tiba. Sibunga rumput sekali lagi dikiaskan oleh majas personifikasi yang dapat mendengar. Kemudian adanya hubungan pertentangan dengan apa yang dinyataka sebelumnya.dengan kata-kata yang dikutip secara langsung :
Tapi katanya, "Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!"

Pada kalimat terakhir :

Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia kembang di sela-selageraham batu-batu gua pada suatu pagi, dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangm dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api ...

Gua dibayangkan seperti sebuah mulut yang memiliki gigi geraham ( metafora ini mungkin merupakan pengembangan dari mulut gua) dan sibunga rumput tumbuh disela-selanya. Sementara latar waktunyapun, berbeda dengan sebelahnya, berubah menjadi harfiah.
Ia kembang di sela-selageraham batu-batu gua pada suatu pagi, dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangm dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api ....
Teriaknya, "Itu semua pemandangan bagi kalian saja, para manusia! Aku ini si bunga rumput: pilihan dewata!"

Dalam potongan puisi yang diatas, adanya kiasan sinestesia yang merancukan persepsi indrawi antara udara dan air. Sehingga udara digambarkan menjadi sangat pekat, proses personifikasi masih terus ditujukan kepada sibunga rumput yang kini mampu menyadari sesuatu, bahkan ia dapat ( tanpa sengaja) mencium bau sisa bangkai dan mendengar suara embik pepatah yang keduanya merupakan imaji-imaji kematian dan maut. Sibunga rumput itu pun mampu berimajinasi dengan membayangkan sesuatu yang tak kalah menakutkan dengan sebelumnya, yakni hutan terbakar, sebuah peristiwa musnahnya kehidupan.

  • Nada dan suasana
Dalam menulis puisi, penyair memiliki sikap tertentu terhadap pembaca, apakah ia ingin bersifat menggurui, menasehati, mengejek, menyindir atau bersikap lugas hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca. Ini disebut nada puisi.
Jika nada merupakan sikap penyair terhadap pembaca, maka suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi itu atau akibat psikologis yang ditimbulkan terhadap pembaca. Jika kita berbicara tentang sikap penyair, maka kita berbicara tentang nada. Jika kita berbicara tentang suasana jiwa pembaca yang timbul setelah membaca puisi, maka kita berbicara tentang suasana. Nada duka yang dibentuk oleh penyair dapat menimbulkan nada iba hati pembaca. Nada kritik yang diberikan penyair dapat menimbulkan suasana khusyuk begitu seterusnya.
Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit;
siangnya cuaca berdenyut ketikanampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu;
malam hari ia mendengar seru serigala.

Tapi katanya, "Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!"
(ii)
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia kembang di sela-selageraham batu-batu gua pada suatu pagi, dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangm dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api ....
Teriaknya, "Itu semua pemandangan bagi kalian saja, para manusia! Aku ini si bunga rumput: pilihan dewata!"

Kutipan puisi “ Bunga” ini dengan nada menyindir yang bersifat sinis dengan nada kesombongan dan keangkuhan dari sifat si bunga rumput.. Namun nada kesinisan itu tidak dapat kita hayati secara harfiah karena makna yang diucapkan bersifat filosofis yang hanya dapat kita mengerti dari makna yang tersirat. Demikianlah nada puisi yang dapat kita hayati sikap penyair yang tersifat dapat ditangkap oleh pembaca.pembaca menghayati suasana yang timbul dari nada puisi. Sebab itu nada puisi berhubungan erat dengan suasana.

  • Pengimajian (citraan)
Pengimajian dapat dibatasi dengan pengertian : kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Baris atau bait puisi itu seolah mengandung gema suara (imaji auditif), benda yang namak (imaji visual), atau sesuatu yang dapat kita rasakan, raba atau sentuh (imaji taktil). Jika penyair menginginkan imaji pendengaran (auditif), maka jika kita menghayati puisi, seolah-olah mendengarkan sesuatu. Jika penyair ingin melukiskan imaji penglihatan (visual) maka puisi itu seolah-olah melukiskan sesuatu yang bergerak-gerak, jika imaji taktil yang ingin digambarkan maka pembaca seolah-olah merasakan sentuhan perasaan.

Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit;
siangnya cuaca berdenyut ketikanampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu :  imaji visual.

“malam hari ia mendengar seru serigala.
Tapi katanya, "Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!"  : imaji auditif”

  • Versifikasi (Rima, Ritma Metrum)
Bunyi dalam puisi menghasilkan rima dan ritma. Ritma adalah pengulangan bunyi pada puisi. Digunakan kata rima untuk mengganti istilah persajakan pada system lama karena penempatan bunyi dan pengulangannya bukan hanya pada akhir setiap baris, namun juga untuk keseluruhan baris dan bait.
a) Rima
Pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas puisi atau orchestra. Dengan pengulangan bunyi itu, pusi menjadi merdu dibaca. Rima tidak khusus berarti persamaan bunyi atau dalam istilah tradisional disebut sajak. Rima lebih luas lagi karena menyangkut perpaduan bunyi, konsonan, dan vocal untuk membangun orchestra atau musikalitas.
1. Onomatope
Tiruan terhadap bunyi-bunyi yang ada. Dalam puisi, bunyi-bunyi yang dipilih oeleh penyair diharapkan dapat memberikan gema atau memberikan warna suasana tertentu seperti yang diharapkan penyair.
udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangm dan terdengar seperti ada embik terpatah
2. Intern pola bunyi
Yang termasuk intern adalah aliterasi, asonansi,persamaan akhir, dan persamaan awal sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi atau kata dan sebagainya.

- Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit;
- Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia kembang di sela-selageraham batu-batu gua pada suatu pagi
3. Pengulangan kata / ungkapan
Pengulangan bukan hanya terbatas pada bunyi namun pada kat-kata maupun ungkapan. Pengulangan bunyi/kata/frasa memberikan efek intelektual dan efek magis yang sunyi murni.
Dibawah ini kutipan puisi “bunga” yang menunjukkan adanya sikap memperjelas efek intelektual:
- "Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!"
- ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api ....
Teriaknya, "Itu semua pemandangan bagi kalian saja, para manusia! Aku ini si bunga rumput: pilihan dewata!"
b) Ritma
Ritma sangat berhubungan dengan bunyi, kata, frasa ataupun kalimat. Ritma puisi berbeda dengan metrum (matra). Metrum merupakan pengulangan tekanan kata yang tetap. Metrum sifatnya statis. Dapat kita lihat pada kutipan puisi “Bunga” ini :
Bahkan / bunga rumput itu pun / berdusta/
Ia rekah/ di tepi padang/ waktu hening/ pagi terbit;
siangnya/ cuaca berdenyut/ ketikanampak sekawanan gagak/ terbang// berputar-putar/ di atas padang itu/

  • Hiponim (hubungan atas- bawah)
Hiponim atau hubungan atas-bawah merupakan salah satu aspek leksikalyang berupa satuan bahasa yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satuan lingual yang lain. Hiponim pada puisi dapat dilihat pada kutipan puisi “bunga” berikut ini :
- Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit;
- Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia kembang di sela-selageraham batu-batu gua pada suatu pagi
Biografi Penyair Supardi Djoko Damono
Penulis ini lahir di solo tanggal 20 maret 1940. Menyelesaikan pendidikan dijurusan Sastra
Inggris Fakultas Sastra UGM (1964) kemudian memperdalam pengetahuan di Universitas Hawaii, Honolulu,AS (1970-1971) dan meraih gelar doctor dari universitas Indonesia (1989).
Balladanya, “ Ballada matinya seorang pemberontak”, mendapat hadiah pertama majalah basis tahun 1963, kumpulan sajaknya, sihir hujan (1984) mendapat hadiah pertama puisi II Malaysia 1983 dan kumpulan sajaknya yang lain adalah perahu kertas (1983) menggondol hadiah sastra DKJ 1983. Karya yang lain adalah dukamu abadi1969, akuarium (1974, Sosiologi Sastra: sebuah pengantar ringkas (1978), novel Indonesia Sebelum perang (1979), kesusasteraan Inonesia Modern, beberapa catatan kumpulan essay 1983, hujan bulan juni (1994), arloji (kumpulan sajak 1999), politik ideology dan sastra hibrida (kumpulan essay 1999) sihir rendra : permainan makna (kumpulan essay 1999), ayat-ayat api (kumpulan sajak 2000) dan Ada kabar apa hari ini, Den Sastro? (2002).
Sapardi juga menulis cerpen. Salah satu buku kumpulan cerpennya yang sudah terbit adalah Membunuh Orang Gila (2003). Selain itu ia juga menjadi editor buku Tifa Budaya (bersama Kasijanto, 1981). Seni dalam masyarakat Indonesia ( bersama edisediawati, 1983) dan HB Jasin 70 tahun (1987). Sapardi juga banyak menerjemahkan. Terjemahannya : lelaki tua dan laut ( novel hemingway, 1973). Dan banyak lagi karya-karya asing lainnya. Tahun 1986 Sapardi Djoko Damono memperoleh Hadiah Sastra ASEAN dan tahun 1990 menerima hadiah seni dari Pemerintah RI. Dan tahun 2003 memperoleh anugerah “ Achmad Bakrie 2003” dan banyak lagi karya sastra yang telah disumbangkan oleh Sapardi Djoko Damono terhadapa kebudayaan masyarakat modern di Indonesia.

SHARE TO »

1 Response to "Analisis Puisi Bunga Karya Sapardi Djoko Damono"

-berkomentarlah dengan baik sesuai topik
-menaruh link aktif dianggap spam