Analisis Puisi Doa di Medan Laga Karya Subagio Sastrowardhoyo


“DOA DI MEDAN LAGA”

Berilah kekuatan sekeras baja
Untuk menghadapi dunia ini, untuk melayani zaman ini
Berilah kesabaran seluas angkasa
Untuk mengatasi siksaan ini, untuk melupakan derita ini
Berilah kemauan sekuat garuda
Untuk melawan kekejaman ini, untuk menolak penindasan ini
Berilah perasaan selembut sutra
Untuk menjaga peradaban ini, untuk mempertahankan kemanusiaan ini
Karya Subagio Sastrowardhoyo, 1982

A.  Unsur Intrinsik

  • Tema (sense)
Tema mengacu pada aspek-aspek kehidupan atau peristiwa yang terjadi yang merupakan pengalaman pengarang. Tema  harus relevan dengan isi cerita atau teks puisi. Tema yang diangkat pada puisi “Doa di Medan Laga” adalah tema patriotisme. Tentang perjuangan dan pertahanan hidup. Tema ini sesuai dengan isi tiap larik yang selalu berharap diberi kemudahan dalam segala hal.
  • Perasaan (feeling)
Rasa yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Semangat dan optimis menjadi rasa dari tiap-tiap larik dalam puisi Subagio Sastrowardhoyo “Doa di Medan Laga”.
  • Nada dan Suasana
Nada dan suasana dalam puisi ini tentang semangat juang yang optimis dalam berbagai bidang kehidupan, tidak hanya berjuang melawan musuh tetapi juga melawan berbagai hal tidak baik yang ada dalam masyarakat dan bangsa kita.
  • Amanat (itention)
Amanat yang dapat dambil dari puisi Subagio Sastrowardoyo yang berjudul “Doa di Medan Laga” adalah kehidupan dunia yang sangat keras dan penuh dengan tantangan harus tetap dijalani dengan penuh perjuangan. Semua yang dihadapi pasti mendapatkan kemudahan untuk mengatasi tantangan tersebut. Berdoa dan selalu berusaha dengan optimis, pasti Yang Maha Kuasa selalu berada dekat kita dan akan menolong kita.
  • Perwajahan Puisi (tipografi)
Puisi ini mempunyai tata wajah yang konvensional seperti pada umumnya, dan berdasarkan bentuknya, puisi ini termasuk ke dalam Oktaf/Stanza yaitu sajak yang terdiri dari 8 baris.
  • Gaya Kalimat
Salah satu ciri khusus puisi adalah pemadatan kalimat –meskipun tidak mutlak. Kepadatan kalimat dalam puisi “Doa di Medan Laga” terlihat dari bait-baitnya yang dipandang dari sudut gramatikal merupakan kalimat yang tidak sempurna. Pemadatan kalimat dilakukan dengan menghilangkan kata-kata yang dianggap kurang penting dalam menyampaikan gagasan penyair. Pemadatan kalimat dalam empat bait pertama adalah sebagai berikut.
  1. (Ya, Tuhan) Berilah (aku/hamba) kekuatan sekeras baja
  2. Untuk menghadapi dunia ini, (dan) untuk melayani zaman ini
  3. (Ya, Tuhan) Berilah (aku/hamba) kesabaran seluas angkasa
  4. Untuk mengatasi siksaan ini, (dan) untuk melupakan derita ini
  5. (Ya, Tuhan) Berilah (aku/hamba) kemauan sekuat garuda
  6. Untuk melawan kekejaman ini, (dan) untuk menolak penindasan ini
  7. (Ya, Tuhan) Berilah (aku/hamba) perasaan selembut sutra
  8. Untuk menjaga peradaban ini, (dan) untuk mempertahankan kemanusiaan ini
Pemadatan kalimat tersebut dilakukan agar kalimat menjadi ringkas dan efektif serta dapat tercipta sebuah irama kata yang indah. Pembaca puisi dianggap sudah mengetahui atau minimal menduga-duga kata-kata yang dihilangkan dalam puisi sehingga kalimat menjadi padat.
Pada baris ganjil, penyair menggunakan klausa bentuk permintaan dengan ditandai kata berilah. Sedangkan baris genap yang terdiri dari dua klausa merupakan klausa-klausa lanjutan dari baris ganjil. Sehingga dua baris (ganjil dan genap) menghasilkan satu kalimat. Baris genap merupakan klausa keterangan tujuan dari klausa baris ganjil. Contohnya adalah sebagai berikut:

  1. (Ya, Tuhan) berilah (aku/hamba) kekuatan sekeras baja untuk menghadapi dunia ini, (dan) untuk melayani zaman ini.
  2. (Ya, Tuhan) berilah (aku/hamba) kesabaran seluas angkasa untuk mengatasi siksaan ini, (dan) untuk melupakan derita ini.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa puisi “Doa di Medan Laga” terdapat kalimat-kalimat yang mengalami pemadatan. Pemadatan kalimat tersebut tidak mengganggu hubungan antarkalimat atau antarbait. Pemadatan kalimat tersebut dilakukan agar kalimat menjadi ringkas dan efektif serta bertujuan untuk mencapai efek estetis.
Selain itu, dalam keseluruhan bait terdapat empat kalimat (yang hampir sempurna secara gramarikal) dengan masing-masing kalimat mempunyai tiga klausa. Klausa pertama terdapat pada baris ganjil dan klausa kedua dan ketiga terdapat pada baris genap. Penggunaan kalimat dan klausa yang teratur tersebut semakin menambah irama puisi yang teratur dan indah.

  • Gaya kata (diksi)
Diksi yang digunakan Subagio Sastrowardoyo dalam puisi Doa di Medan Laga sudah mewakili perasaan dan pengalaman pengarang. Selain itu, juga mewakili perasaan semua rakyat yang sedang mempertahankan kehidupan di jagat raya ini.
Berilah kekuatan sekeras baja
Larik tersebut memiliki makna konotasi yang dapat diartikan sesuai situasi dan kondisi, yakni ingin mempunyai kekuatan yang keras sehingga mampu menghadapi segalanya dengan kesabaran dan ketabahan lahir dan batin. Secara denotatif memiliki makna yang sesungguhnya yakni sekeras baja (baja yang keras dan kuat).
Untuk menghadapi dunia ini, untuk melayani zaman ini
Makna yang terkandung pada larik tersebut adalah menjalani kehidupan di dunia ini dengan penuh kesungguhan.
Berilah kesabaran seluas angkasa
Secara denotatif, angkasa memiliki luas yang tak terhingga, tetapi secara konotatif seluas angkasa maksudnya adalah ingin diberikan kelapangan hati (sabar).
Untuk mengatasi siksaan ini, untuk melupakan derita ini
Maksudnya adalah segala tantangan dan rintangan mampu diatasi dan yang sudah berlalu biarlah berlalu.
Berilah kemauan sekuat garuda
Secara denotatif, garuda memiliki kekuatan yang luar biasa, tetapi secara konotatif maksudnya ingin diberikan suatu kemauan/ keinginan yang kuat sekuat garuda untuk mengatasi segala problema kehidupan.
Untuk melawan kekejaman ini, untuk menolak penindasan ini
Kekejaman dan penindasan mampu untuk dihadang, kemauan/keinginan yang kuat mampu mengatasinya.
Berilah perasaan selembut sutra
Secara denotatif sutra melambangkan kehalusan dan kelembutan. Secara konotatif, memiliki arti ingin diberi perasaan dan kelembutan hati bagai sutra.
Untuk menjaga peradaban ini, untuk mempertahankan kemanusiaan ini
Untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia di muka bumi di negara yang tercinta ini dan juga mempertahankan segalanya yang ada di dunia ini.
  • Citraan (imaji)
Imaji digunakan pengarang agar memberikan kesan hidup pada puisi-puisi yang dibuatnya. Imaji terdiri dari imaji pengelihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan pengecap/cecapan.
  1. Imaji perabaan terdapat pada larik ketujuh.
    Berilah perasaan selembut sutra
  2. Imaji pengelihatan terdapat pada larik berilah kekuatan sekeras baja, berilah kesabaran seluas angkasa, berilah kemauan sekuat garuda, dan berilah perasaan selembut sutera.
  3. Imaji perasaan terdapat pada larik berilah kesabaran seluas angkasa,  untuk mengatasi siksaan ini, untuk melupakan derita ini, untuk melawan kekejaman ini, untuk menolak penindasan ini, dan berilah perasaan selembut sutera.
  • Kata konkret
Kata konkret merupakan kata-kata yang memilliki makna dan arti sama bila dilihat secara denotatif. Secara konotatif memiliki makna dan arti berbeda yang sesuai dengan situasi dan kondisi pemakainya. Kata-kata konkret pada puisi ini seperti terdapat pada kata:
Kekuatan sekeras baja
secara denotatif memiliki makna kekuatan seperti baja yang sangat keras. Secara konotatif memiliki makna mempunyai kekuatan yang keras sehingga mampu dalam menghadapi segalanya dengan penuh kesabaran dan ketabahan lahir dan batin.
Kesabaran seluas angkasa
Secara denotatif, angkasa memiliki luas yang tak terhingga, tetapi secara konotatif seluas angkasa maksudnya adalah kelapangan hati (sabar).
Kemauan sekuat garuda
Secara denotatif, garuda memiliki kekuatan yang luar biasa, tetapi secara konotatif maksudnya suatu kemauan/ keinginan yang kuat sekuat garuda untuk mengatasi segala problema kehidupan.
Perasaan selembut sutra
Secara denotatif sutra melambangkan kehalusan dan kelembutan. Secara konotatif, memiliki makna perasaan dan kelembutan hati bagai sutra.
Bahasa figuratif (figurative language)
Bahasa figuratif merupakan bahasa kiasan atau perumpamaan yang digunakan pengarang dalam sajak-sajaknya. Dengan kata lain bahasa figurative disebut juga majas. Pada puisi ini terdapat majas perbandingan, merupakan majas yang membandingkan sesuatu dengan menggunakan kata-kata perbandingan. Seperti bagai, bagaikan, bak, seperti, laksana, se-, dan lain-lain.
•    Berilah kekuatan sekeras baja
•    Berilah kesabaran seluas angkasa
•    Berilah kemauan sekuat garuda
•    Berilah perasaan selembut sutra
  • Verifikasi
Rima atau sajak dalam puisi ini termasuk dalam sajak berselang yakni perulangan  bunyi sajak a-b-a-b. Sedangkan irama yang disajikan dapat dirasakan apabila setiap pembaca memiliki ciri/ khas masing-masing dalam pembacaan. Irama tercipta saat puisi dibacakan.

B.  Unsur Ekstrinsik

  • Biografi pengarang
Subagio Sastrowardoyo dilahirkan di Madiun (Jawa Timur), 1 February 1924. Berpendidikan di HIS (di Bandung dan Jakarta), HBS, SMP, SMA (di Yogyakarta), Fakultas Sastra UGM (tamat 1958), dan meraih MA dari Department of Comparative Literature, Universitas Yale, AS (1963).
Pernah menjadi Ketua Jurusan Bahasa Indonesia Kursus B-1 di Yogyakarta (1954-1958), kemudia mengajar di Fakultas Sastra UGM (1958-1961), SESKOAD Bandung (1966-1971), Salisbury Teachers College, Australia Selatan (1971-1974), dan Universitas Flinders, Australia Selatan (19784-1981).
Ia pun pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (1982-1984), dan anggota kelompok kerja sosial-budaya Lemhanas.
Cerpennya, “Kejantanan di Sumbing”, mendapat Hadiah Pertama majalah Kisah tahun 1955, sajaknya, “Dan Kematian Makin Akrab”, memenangkan hadiah majalah Horison untuk sajak-sajak yang dimuat di majalah itu tahun 1966/1967, dan kumpulan esainya, Sastra Hindia Belandan dan Kita (1983), memperoleh Hadiah Sastra DKJ 1983. Karyanya yang lain: Simphoni (1957), Kejantanan di Sumbing (1965), Bakat Alam dan Intelektualisme (1972), Keroncong Motinggo (1975), Hari dan Hara (1982), Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan (1989), Simfoni Dua (1990), dan Sekilas Soal Sastra dan Budaya (1992).
Studi mengenai sajak-sajak SS: Tim Peneliti Fakultas Sastra UGM, Memahami Sajak-sajak Subagio Sastrowardoyo (1978), dan Wahyo Wibowo, Menyingkap Dunia Subagio Sastrowardoyo (1984).
Tahun 1971 SS menerima Anugerah Seni dari Pemerintah RI untuk kumpulan sajaknya, Daerah Perbatasan (1970), tahun 1991 menerima Hadiah Sastra Asean, dan tahun 1992 mendapat penghargaan Yayasan Buku Utama untuk bukunya Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan.
Sebagian sajaknya telah diterjemahkan ke bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Perancis, Jepang, dan Rusia.

  • Kajian Berdasarkan Tinjauan Psikologis/Kejiwaan Pengarang
Berdasarkan tinjauan psikologis pengarang, Subagio Sastrowardoyo adalah seorang penyair, dosen, dan kritikus. Kaitannya dengan pembuatan puisi Doa di Medan Laga ini merupakan bentuk dari pengalamannya dari suatu kejadian pada zaman dulu. Pada saat itu rakyat Indonesia meskipun sudah dikatakan merdeka, tetapi masih harus semangat dan terus berjuang dalam menghadapi kehidupan dunia yang sangat keras dan penuh dengan tantangan itu.
Pada puisi ini tidak hanya mewakili perasaan dan pengalaman pengarang saja, tetapi juga mewakili perasaan semua rakyat yang sedang mempertahankan kehidupan di jagat raya ini. Pengarang berusaha ingin menggambarkan pesan apa yang bisa diambil dari setiap karya sastra yang dibuatnya. Puisi ini merupakan bentuk ekspresinya terhadap keadaan pada saat itu.

  • Nilai-nilai yang terkandung dalam puisi “Doa di Medan Laga”
Nilai religius
Puisi “Doa di Medan Laga”merupakan doa yang disampaikan oleh seseorang saat merasa dirinya berada di tempat yang sudah sangat berbahaya karena harus melawan kekejaman secara fisik dan mental. Puisi ini mengungkapkan bagaimana adanya hubungan antara manusia dan Tuhan terjadi, yakni hubungan yang terjadi karena manusia merasa Tuhanlah yang mampu menolong di saat manusia berada pada tempat yang berbahaya atau mengalami cobaan berat dalam hidupnya.

  • Makna Puisi
Puisi yang berjudul “Doa di Medan Laga” karya Subagio Sastrowardhoyo merupakan sebuah sajak pendek, yang terdiri dari 8  larik dan terbagi dalam 4 bait. Setiap bait memiliki masing-masing 2 larik. Semua kata yang terdapat pada teks puisi merupakan tanda yang mewakili apa yang dirasakan oleh penyair.
Judul memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan atau menjelaskan sajak-sajak berikutnya yang bersangkutan. “Doa di Medan Laga” memiliki pengertian suatu permohonan, permintaan, pengharapan (Doa), doa untuk kehidupan yang rumit. Berdoa merupakan perbuatan untuk memuji dan mengagungkan nama Tuhan, juga menyerahkan dan mengadu nasib kepada-Nya.
Larik pertama, Berilah kekuatan sekeras baja (sebagai indeks), menunjukkan bahwa kekuatan akan melumpuhkan segalanya, dengan kekuatan yang diibaratkan sekuat baja, semua orang mampu bertahan dalam kehidupan yang rumit. Baja merupakan ikon yang dapat diartikan kuat dan tak mudah untuk dihancurkan. Jadi, kekuatan sekeras baja yang dimaksud bisa untuk kekuatan lahir dan kekuatan batin.
Larik kedua memiliki hubungan erat dengan larik pertama. Dapat diartikan bahwa kekuatan lahir dan batin mampu untuk menghadapi kehidupan di dunia. Kekuatan baja yang dimiliki dapat membantu dalam menghadapi perkembangan dan perubahan kehidupan dunia ini yang tak pernah berhenti dan selalu berputar.
Larik ketiga dan keempat juga memiliki hubungan yang erat, sehingga dalam pengertian atau pemenuhan makna tidak dapat disendirikan.
Berilah kesabaran seluas angkasa (sebagai indeks)
Untuk mengatasi siksaan ini, untuk melupakan derita ini
Larik ketiga maksudnya adalah sabar, tegar, dan tabah dalam menghadapi semua penderitaan (tantangan dan rintangan), juga lapang dada. Dalam larik ini tidak begitu jelas, apa yang dikehendaki oleh seseorang itu untuk dirinya sendiri, orang lain, atau semua orang yang ada dan mengalaminya (segala sesuatu kehidupan yang dialami). Sebuah permohonan terhadap Sang Pencipta untuk semua yang terjadi dikehidupan yang nyata dan rumit ini.
Berilah kemauan sekuat garuda
Untuk melawan kekejaman ini, untuk menolak penindasan ini
Di atas adalah larik kelima dan keenam. Memiliki makna sebuah pengharapan terhadap suatu yang ada dalam tiap pribadi yakni kemauan, kerja keras, pengorbanan, semangat, dan sebagainya, yang akan membawa semua pada kebebasan. Garuda telah menjadi lambang Negara Indonesia. Kekuatan dan keberanian garuda, menjadi tolak ukur bagi semua jika menginginkan kebebasan lahir dan batin.
Pada larik ketujuh dan kedelapan adalah dua larik penutup dari puisi ini.
Berilah perasaan selembut sutra (sebagai indeks)
Untuk menjaga peradaban ini, untuk mempertahankan kemanusiaan ini
Sutra menjadi simbol yang melambangkan kelembutan dan kehalusan. Hati atau pun perasaan yang terkadang keras dan sulit diluluhkan dapat mencair dan bisa lembut selembut sutra. Perasaan atau hati siapapun yang demikian, akan mampu membuat segalanya luluh. Kehalusan dan ketabahan hati dapat mewujudkan kedamaian dan ketentraman jiwa dan raga dalam kehidupan ini, serta menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
Kesimpulan dari analisis puisi tersebut berdasarkan larik adalah suatu kehidupan yang dijalani dengan kuat, tegar, sabar, lapang dada, berani dan keikhlasan serta kelembutan hati dapat menjadikan segala sesuatu yang terjadi diikehidupan ini pasti akan menemukan solusi dan titik temu mengatasi permasalahan. Setiap permasalahan yang timbul harus dapat diatasi dengan kepala dingin, sehingga semua akan berakhir dengan kebahagiaan. Sebuah doa dapat menjadikan tonggak utama sebelum melakukan sesuatu, sehingga hasil yang ingin dicapai dapat terpenuhi. Walaupun harus berjuang melawan segala halang rintang yang menghadang. Meski begitu, semua akan berakhir dengan sempurna, menyelamatkan manusia dan dunia.


SHARE TO »

0 Response to "Analisis Puisi Doa di Medan Laga Karya Subagio Sastrowardhoyo"

Post a Comment

-berkomentarlah dengan baik sesuai topik
-menaruh link aktif dianggap spam