Analisis Puisi Derai-Derai Cemara Karya Chairil Anwar

Derai-Derai Cemara

Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan ditingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam

Aku sekarang orangnya bisa tahan
Sudah berapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada satu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini

Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah

Karya :Chairil Anwar

A. Unsur Intrinsik

  • Tema
Perubahan dalam diri manusia yang terpisah dari kehidupan masa lalu
  • Rasa             
Sedih
  • Nada       
Iba atau merengek
  • Amanat       
Kehidupan hanyalah perjalanan yang keras untuk ditempuh dan setiap manusia akan mati dengan tenang kalau apa yang harapkannya tercapai.
  • Diksi       
Diksi yang digunakan dalam sajak ini sangat sederhana dan dingin, sehingga pembaca seolah-olah mengalami pesakitan yang dialami oleh pengarang.
  • Imajinasi       
Imajinasi yang digunakan oleh pengarang sangat tinggi walaupun menggunakan kata-kata yang sederhana tetapi sangat menyentuh hati pembaca.
  • Kata-kata konkret       
Kata-kata yang jika dilihat secara denotative sama, tetapi secara konotatif tidak sama, bergantung pada situasi dan kondisi pemakainya.
  • Gaya bahasa       
Bahasa yang digunakan pengarang dalam sajak ini sangat sederhana, dan dengan kesederhanaan itu pengarang mencapai kepada klimaks yang ingin disampaikan
  • Irama       
Irama dalam sajak ini tidak terlalu tinggi-tidak juga rendah
  • Rima       
Unsure bunyi dalam sajak ini sangat dingin sehingga menimbulkan kemerduan puisi, dan dapat memberikan efek terhadap makna, nada dan suasana puisi tersebut.



B. Unsur Extrinsik

  • Biografi Pengarang
Sebagaimana kita ketahui bahwa sajak-sajak Chairi Anwar merupakan merupakan sajak yang disusun dengan kata-kata yang sederhana dan lebih memperdalam makna.Chiril Anwar dan cara hidupnya yang “jalang” telah menjadi semacam mitos, kita suka bahwa sajak-sajak yang ditulis menjelang kematiannya menunjukkan sikap hidupnya yang matang dan mengendap meskipun umurnya baru 26 tahun. Puisi ‘Derai-Derai Cemara’ ini merupakan sajak yang ditulisnya pada saat ia berada pada pembaringan di rumah sakit.

Dalam sajak ini Chairil Anwar meneriakkan keinginannya untuk tetap hidup walaupun umurnya telah terbatas, yaitu 27 tahun tidak seperti kawan-kawannya yang lain, seperti HB Jassin yang hidupnya lebih panjang daripada Chairil. Pada usia 26 tahun ia menyadari bahwa hidupnya “hidup hanya menunda kekalahan…sebelum pada akhirnya kita menyerah”. Sajak ini merupakan sebuah kesimpulan yang diutarakan dengan sikap yang sudah mengendap, yang sepenuhnya menerima proses perubahan dalam diri manusia yang memisahkannya dari gejolak masa lampau. Proses itu begitu cepat, sehingga “ada yang tetapi tidak diucapkan”.

Pengaturan inipun begitu tertib dan tenang, masing-masing terdiri dari empat larik yang sepenuhnya menggunakan rima a-b-a-b citraan alam yang digunakan Chairil pun menampilkan ketenanangan itu: suara deraian cemara  sampai di kejauhan menyababkan hari terasa akan jadi malam, dan dahan yang di tingkap merapuh itu pun dipukul angin yang terpendam. Dalam seluruh sajak ini, kata “dipukul” jelas merupakan kata yang paling keras mengungkapkan masih adanya sesuatu  di dalam yang masih terpendam. Si aku dalam lirik sajak ini pun menyadari sepenuhnya bahwa hari belum malam, namun terasa jadi malam.

  • Biografi Singkat Chairil Anwar
Chairil Anwar dilahirkan di Medan pada 26 Juli 1922. Dia merupakan anak tunggal dari pasanganToeloes dan Saleha. Ayahnya bekerja sebagai pamongpraja. Ibunya masih mrmpunyai pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Chairil dibesarkan dalam keluarga yang berantakan. Kedua orang tuanya bercerai dan ayahnya menikah lagi dengan wanita lain. Setelah perceraian itu, Chairil mengikuti ibunya merantau ke Jakarta. Saai itu, ia baru lulus SMA. Chairil masuk Hollands Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu penjajah Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, sekolah menengah pertama Belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja, namun tak satu pun puisi awalnya yang ditemukan. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman. Ia mengisi waktu luangnya dengan membaca buku-buku dari pengarang internasional ternama, seperti Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia. Semasa kecil di Medan, Chairil sangat dekat dengan neneknya. Keakraban ini memberikan kesan lebih pada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang pedih sebagaimana yang tertulis dalam kutipan (1).

(1)    Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahusetinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil sayangi. Dia bahkan terbiasa menyebut nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu. Hal itu ia lakukan sebagai tanda bahwa ia yang mendampingi nasib ibunya. Di depan ibunya juga, Chairil sering kali kehilangan sisi liarnya. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.

Chairil Anwar mulai memiliki perhatian terhadap kesusasteraan sejak sekolah dasar. Di masa itu, ia sudah menulis beberapa sajak yang memiliki corak Pujangga Baru, namun ia tidak menyukai sajak-sajak tersebut dan membuangnya. Begitulah pengakuan Chairil Anwar kepada kritikus sastra HB. Jassin. Seperti yang ditulis oleh Jassin sendiri dalam Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45. Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kegigihannya. Seorang teman dekatnya, Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam. Jassin juga pernah bercerita tentang salah satu sifat sahabatnya tersebut, Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Semua nama gadis itu masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Hapsah adalah gadis kerawang yang menjadi pilihannya untuk menemani hidup dalam rumah tangga. Pernikahan itu tak berumur panjang. Karena kesulitan ekonomi dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat itu, anaknya baru berumur tujuh bulan dan Chairil pun menjadi duda. Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versitentang sakitnya, namun banyak pendapat yang mengatakan bahwa TBC kronis dan sipilislah yang menjadi penyebab kematiannya. Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar yang menjadi notaris di bekasi harus meminta maaf saat mengenang kematian ayahnya di tahun 1999. Ia berkata, Saya minta maaf, karena kini saya hidup disuatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil Anwar, (Haniey:2007). Tak sedikit buku-buku karangan Chairil semasa hidupnya, buku-buku itu adalah sebagai berikut: DeruCampur Debu (1949), Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949), Tiga Menguak Takdir(1950, dengan Asrul Sani dan Rivai Apin), Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949, dieditoleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986), Derai-derai Cemara (1998), Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya Andre Gide Kena Gempur (1951), dan terjemahan karya John Steinbeck. Selain itu, karya-karya Chairil juga banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol. Terjemahan karya-karyanya di antaranya seperti Sharp gravel, Indonesian poems, oleh Donna M. Dickinson (Berkeley? California, 1960), Cuatro poemas indonesios[por] Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati (Madrid: Palma de Mallorca, 1962), Chairil Anwar:Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963), Only Dust:Three Modern Indonesian Poets, oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets,1969), The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh BurtonRaffel (Albany, State University of New York Press, 1970), The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan H. B. Jassin (Singapore: UniversityEducation Press, 1974), Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh WalterKarwath (Wina: Octopus Verlag, 1978), dan The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies,1993).



  • Nilai-nilai puisi

Nilai agama : Semua yang bernyawa pasti akan mati apabila telah tiba pada   waktunya.
Nilai pendidikan : walaupun cita-cita pengarang tidak sesuai dengan yang dia impikan namun harus tetap semangat dan jangan putus asa.

  • Keterkaitan Puisi

Chairil dalam puisinya ini menunjukkan kelebihannya dalam memilih kata-kata yang tidak biasa orang lain gunakan tetapi memberikan kesan yang dalam pada setiap pembacanya. Selain itu juga dalam puisinya ini memiliki kelabihan tersendiri dibanding puisi-puisi lainnya yakni mengenai rimanya yang teratur berbeda dengan puisi-puisi lainnya.
Puisi ini juga baik dibaca oleh masyarakat umum tidak hanya kalangan “sastra” saja, yang pada saat ini masyarakat kita cenderung bekerja keras tetapi lupa kepada penciptanNya. Puisi ini dapat mengajarkan mereka bahwa sesungguhnya sekeras apapun kita berusaha atau bekerja tetap saja semua jalan hidup dan keputusan ada di tanganNya. Bahkan seorang Chairil pun akhirnya menyerah juga pada Tuhan di akhir hayatnya.

  • Makna Puisi “Derai-Derai Cemara”
Pembacaan Heuristik
Kata Derai-derai yang digunakan penulis untuk judul sajak mempunyai arti berjatuhan atau berguguran yang biasanya digunakan untuk menyebut beberapa macam tumbuhan atau dedaunan yang sebelumnya masih berada pada sebuah pohon. Cemara merupakan jenis pohon yg berbatang tinggi lurus seperti tiang, daunnya kecil-kecil sepertt lidi, nama ilmiahnya adalah Casuarina Eqnisetifolia

Cemara menderai sampai jauh, cemara dijelaskan pada bait sebelumnya merupakan sebuah jenis pohon yang berbatang tinggi lurus seperti tiang yang daunnya kecil-kecil seperti lidi. Menderai dapat digunakan sebagai sebuah gambaran guguran atau dedaunan yang berjatuhan. Jauh menggambarkan sebuah jarak yang atau panjang antaranya tidak dekat. Terasa dapat diartikan suatu suasana yang dialami oleh pelaku, hari dapat diartikan waktu selama matahari menerangi tempat kita (dari matahari terbit sampai matahari terbenam). Menjadi malam menunjukkan suasana perubahan situasi, malam diartikan waktu setelah matahari terbenam hingga matahari terbit. Ada beberapa menunjukkan jumlah yang tidak tentu banyaknya. Lebih dari dua tetapi tidak terlalu banyak. Dahan adalah salah satu bagian dari pohon yang tumbuh mencuat dan menyamping, beranting dan berdaun. Tingkap merupakan salah satu jendela yang teltetak diatap atau di dinding pada sebuah rumah yang memiliki banyak nama. Merapuh berasal dari kata dasar rapuh yang berarti sudah lemah, rusak, tidak kuat lagi. Memperoleh penambahan prefiks yang mempunyai arti sebuah proses menuju rapuh. Dipukul adalah sesuatu yang dialami oleh subjek yaitu pukulan dengan sesuatu alat yang berat. Angin adalah gerakan udara dr daerah yg bertekanan tinggi ke daerah yg bertekanan rendah. Terpendam diartikan sesuatu yang tertanam, biasanya didalam tanah atau dapat juga dengan sesuatu yang lain.

Sekarang menunjukkan waktu saat ini atau saat yang sedang terjadi. Bisa berarti dapat atau mampu dan tahan berarti tetap keadaannya (kedudukannya dsb) meskipun mengalami berbagai-bagai hal. Sudah berarti telah terjadi. Beberapa menunjukkan jumlah yang tidak tentu jumlahnya yang lebih dari dua namun tidak terlalu banyak. Waktu mempunyai arti seluruh rangkaian saat ketika proses, perbuatan, atau keadaan berada atau berlangsung. Bukan kanak-kanak lagi. Bukan berarti berlainan dengan sebenarnya. Kanak-kanak berarti periode perkembangan anak masa prasekolah (usia antara 2-6 tahun). Dulu berarti dahulu yaitu waktu sebelum sekarang tapi dengan jangka yang cukup lama. Suatu bahan yang dimaksudkan adalah barang yg akan dibuat menjadi satu benda tertentu; bakal; atau sesuatu yg dapat dipakai atau diperlukan untuk tujuan tertentu, spt untuk pedoman atau pegangan, untuk mengajar, memberi ceramah. Bukan merupakan menunjukkan negasi atau penyebutan sesuatu yang bukan sebenarnya. Dasar diartikan sebuah pokok atau pangkal suatu pendapat sedangkan perhitungan mempunyai arti tentang pertimbangan mengenai sesuatu. Kini menunjukkan waktu sekarang atau saat ini atau waktu dekat dengan sekarang.

Hidup diartikan sebagai sebuah keadaan yang masih tetap ada, bergerak dan berfungsi sebagai manusia. Kata ini identik digunakan pada manusia hewan atau tumbuh-tumbuhan. Hanya berarti Cuma atau menyebutkan sesuatu yang dianggap sepele atau tidak penting. Menunda berarti mengundurkan waktu pelaksanaan (yang sudah direncanakan sebelumnya). Kekalahan berarti sebuah situasi yang buruk, berada pada satu pihak yang dikategorikan lebih lemah. Terasing mempunyai arti terpisah dari yang lain atau dalam suatu keadaan yang terdiskriminatif. Cinta berarti sebuah perasaan yang manusiawi dimiliki manusia yang ditujukan kepada lawan jenis atau merupakan sebuah ungkapan sayang. Sekolah rendah menunjukkan jenjang pendidikan yang terbatas, mungkin hanya tingkat sekolah dasar yang dianggap lebih rendah dibandingkan dengan lulus SMA.

Sebelum menunjukkan waktu ketika belum terjadi atau lebih dahulu dari suatu kejadian. Akhirnya berarti kesudahannya atau memberikan kesimpulan terhadap sebuah wacana yang letah dijabarkan sebelumnya. Menyerah berarti berserah pasrah, tidak mampu berbuat apa-apa.

Pembacaan Hermeneutik
Derai-derai cemara yang dipakai pengarang untuk judul sajak merupakan gambaran dari daun-daun cemara yang berguguran yang mempunyai makna tentang runtuhnya harapan tokoh sajak. Diawal kalimat menceritakan tentang cemara, cemara merupakan suatu jenis pepohonan dengan daun yang kecil dan meruncing. Digambarkan dengan suasana sore hari (hampir malam) dan beberapa dahan merapuh diterjang oleh angin malam. Merupakan penggambaran diri manusia yang mulai merapuh, dan suasana yang hamper malam menggambarkan tengtang kesadaran tentang perjalanan hidup yang pasti akan selalu berakhir dan semua yang bernyawa pasti akan mati.

Bait kedua menggambarkan kedewasaan tokoh aku, yang digambarkan dari kalimat sudah berapa waktu aku bukan kanak lagi. Penggambaran tentang pandangan si tokkoh aku yang terjadi saat dia masih kanak dan tpandangan itu tidak relevan lagi ketika dia telah beranjak dewasa atau meninggalkan masa kanak-kanaknya.

Bait ketiga merupakan penggambaran si tokoh aku tentang sebuah keterasingan. Kata jauh menggambarkan tentang cita-cita si tokoh aku yang cemerlang, akan tetapi pada kenyataannya hidup selalu penuh penderitaan dan jauh dari apa yang diharapkan oleh si tokoh aku. Kalimat Hidup hanya menunda-nunda kekalahan merupakan sebuah penggambaran tentang keputusasaan tokoh, semacam kesimpulan yang diutarakan dengan sikap mengendap, yang sepenuhnya menerima proses perubahan dalam diri manusia yang memisahkannya dari masa lalunya.

Matriks, model, dan varian puisi Derai-derai cemara
Secara umum, puisi Derai-derai cemara merupakan penggambaran sebuah kesadaran tentang sebuah perjalanan hidup manusia dan rapuh. Setiap perjalanan manusia pasti akan berakhir. Semua yang bernyawa pasti akan mati apabila telah tiba pada waktunya.

Varian yang pertama merupakan keseluruhan bait pertama (//Cemara menderai sampai jauh / Terasa hari akan jadi malam / Ada beberapa dahan di tingkap merapuh / Dipukul angin yang terpendam //) Pohon cemara menggambarkan tentang sesuatu yang lemah, rapuh, sesuai dengan bentuk daun cemara yang kecil, meruncing mudah terhempas oleh angin yang bertiup. Malam identik dengan kesunyian, kegelapan, waktu istirahat dan akhir dari sebuah kejadian. Angin memberikan gambaran tentang segala cobaan dan kepahitan dalam hidup, yang menghempas kehidupan si tokoh pusi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa bait pertama memberikan gambaran tentang akhir dari sebuah perjalanan hidup. Merupakan sebuah kesadaran tentang segala sesuatu yang terjadi di dunia ini penuh dengan cobaan dan semua yang ada didunia ini pasti akan berakhir, semua yang bernyawa juga pasti akan mati.

Varian kedua (//Aku sekarang orangnya bisa tahan / Sudah beberapa waktu bukan kanak lagi / Tapi dulu memang ada suatu bahan / Yang bukan dasar perhitungan kini //) tokoh puisi merupakan sosok yang telah meninggalkan masa lalunya, masa kanak-kanaknya dan telah menunjukkan kedewasaannya. Tokoh puisi telah mempunyai suatu cita-cita atau pandangan hidup pada masa kecilnya, akan tetapi apa yang dicita-citakan pada waktu kecil tidak terjadi pada masa sekarang, dan pandangan tentang hidupnya telah berbeda dari apa yang pernah dia pikirkan waktu dia masih kanak-kanak.

Varian ketiga (//Hidup hanya menunda-nunda kekalahan / Tambah terasing dari cinta dan sekolah rendah / Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan / Sebelum pada akhirnya kita menyerah//) kata-kata hidup hanya menunda-nunda kekalahan seolah terasa asing ditelinga, biasanya kita mengenal menunda-nunda kemenangan. Kekalahan digambarkan sebagai suatu symbol kepasrahan dan sangat identik dengan keputusanaan. Penderitaan , bahkan kematian. Cita-cita si tokoh puisi pada masa lampaunya yang begitu cemerlang namun tokoh puisi selalu mengalami penderitaan dalam hidupnya. Nampak dari kata terasingkan yang digunakanyang menceritakan tentang rencana si tokoh tentang cita-citanya namun berbeda dengan apa yang diharapkan sehingga membawa dia ke dunia yang dianggap asing dan pada akhirnya berujung pada keputusasaan, kematian.

Dapat didimpulkan, puisi Derai-derai Cemara merupakan ungkapan tentang perjalanan seorang tokoh puisi yang hidupnya penuh penderitaan, dia sempat mempunyai cita-cita yang cemerlang pada masa kecilnya namun pada kenyataannya hidupnya mengalami kepahitan dan penderitaan,sehingga membawa pada sebuah keterasingan dan menyadarkan tentang segala sesuatu yang terjadi di dunia ini pasti akan berakhir dan segala sesuatu yang bernyawa pasti akan mati.

Hipogram Puisi Derai-derai Cemara
Secara intertekstual Puisi Derai-derai Cemara karya Chairil Anwar mepunyai kesamaan ide dengan novel Olenka yang ditulis oleh Budi Dharma. Novel Olenka ini mengangkat tema ketidakberdayaan manusia atas takdir yang terjabar dalam berbagai peristiwa. Peristiwa-peristiwa yang dialami oleh Fanton Drummond, Olenka, Wayne Danton, dan Mary Carson menunjukkan bahwa mereka hanyalah boneka bagi ketentuan takdir. Sikap Budi Darma terhadap adanya kekuasaan takdir ini terangkum juga dalam pernyataan Fanton Drummond setelah gagal mendapatkan Olenka maupun Mary Carson. tokoh utamanya (Fanton Drummond, Olenka, Wayne Danton) adalah tokoh yang mengalami kesepian, kesunyian, dan keterasingan dari pergaulan masyarakat kota besar. Fanton Drummond merasa kesepian sehingga begitu berkenalan dengan Olenka, bayangan Olenka terus mengikutinya. Ia pun bertekad memperistri Olenka meskipun Olenka telah bersuami dan beranak. Olenka dan Wayne merasa kesepian karena kehidupan rumah tangga mereka tidak harmonis. Keterasingan tampak dalam tokoh Wayne dan Steve yang selalu mengucilkan diri dari pergaulan sesama. (Siswanto.163-172 )
Dari sajak tersebut hanya dua baris yang masuk ke dalam Olenka, yaitu “Hidup hanya menunda kekalahan” dan “Sebelum pada akhirnya kita menyerah” (bait ketiga). Di dalam Olenka ungkapan tersebut ditampilkan untuk mendukung suasana ketika Olenka hendak pergi meninggalkan Fanton (subbagian 1.12, hlm. 55–60). Sebelum Olenka meninggalkan Fanton, tergambarlah suasana seperti berikut.

‘Sekonyong-konyong dia menangis. Saya tidak tahu apa sebabnya, dan tidak sampai hati untuk menanya-kannya. Kemudian dia mengatakan bahwa hidupnya adalah serangkaian kesengsaraan. Bukan hanya perka-winannya saja yang hancur, akan tetapi juga seluruh hidupnya. Dia menyesal mengapa dia tidak mati ketika dia masih bayi, atau paling tidak ketika dia masih kanak-kanak, pada waktu dia masih lebih banyak mempergunakan instinknya daripada otaknya. Sekarang sudah terlambat baginya mati tanpa merasa takut menghadapinya. Hidupnya bukan hanya menunda keka-lahan, akan tetapi juga kehancuran, sebelum akhirnya dia menyerah.’ (hlm. 60)
Tampak bahwa dua baris sajak Chairil Anwar tersebut dimanfaatkan untuk membangun suasana tertentu agar kesengsaraan dan kehancuran hidup Olenka –sebelum dia akhirnya menyerah– terasa lebih dalam. Hanya saja, di dalam gambaran tersebut terasa ada semacam “manipulasi” atau “penyelewengan” makna sajak. Atau, dalam konteks itu terasa ada perbedaan yang mendasar antara apa yang dimaksudkan penyair dalam sajak dan apa yang dimaksudkan pengarang dalam novel. Akan tetapi, justru karena itulah, hubungan Olenka dengan sajak “Derai-Derai Cemara” karya Chairil Anwar tidak sekedar bersifat transformatif atau hipogramatik, tetapi juga dialektis.

Benar bahwa dua baris sajak tersebut baik oleh penyair dalam sajak maupun oleh novelis dalam novel sama-sama dipergunakan untuk menggambarkan betapa dalam “penyerahan diri” manusia kepada Tuhan. Akan tetapi, aku lirik di dalam sajak digambarkan lebih tenang dan lebih dewasa dalam menghadapi segala hal, termasuk ketika ia harus menghadapi kematian. Sementara itu, di dalam novel, Olenka justru digambarkan sebagai figur yang penuh rasa sesal. Olenka merasa bahwa hidupnya hanyalah serangkaian kesengsaraan sehingga ia menyesal mengapa tidak mati saja ketika dirinya masih bayi. Itulah sebabnya, ia merasa takut dan cemas menghadapi kematian. Hal ini berbeda dengan sikap aku lirik di dalam sajak. Ungkapan “Aku sekarang orangnya bisa tahan” dan “Sudah lama bukan kanak lagi” menunjukkan bahwa aku lirik telah sadar dan siap menghadapi segala hal. Oleh sebab itu, ia sadar pula bahwa “hidup hanya menunda kekalahan”, karena bagaimanapun kita (manusia) pasti kalah, sehingga apa pun yang terjadi harus “diserahkan” sepenuhnya kepada Tuhan. Kalau sudah demikian, tidak perlu takut walaupun kematian segera menjemput.

Telah dikatakan bahwa di dalam konteks novel telah terjadi “penyelewengan” makna sajak. Kalau tindakan “penyerahan diri” di dalam sajak didukung oleh sikap penuh optimistik akibat dari penerimaannya terhadap adanya proses perubahan yang tidak terelakkan dalam diri manusia, tindakan “penyerahan diri” di dalam novel justru disertai dengan sikap dan rasa pesimistik akibat dari ketidaksadarannya akan proses perubahan dalam hidup. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa gambaran “penyerahan diri” Olenka (kepada Tuhan) hanya ditampilkan sebagai sebuah gambaran “penyerahan semu”.
SHARE TO »

10 Responses to "Analisis Puisi Derai-Derai Cemara Karya Chairil Anwar"

  1. makasih atas analisi puisinya,semoga makin jaya dalam seniman puisinya. makasih ya:)

    ReplyDelete
  2. Puisi yang begitu menyentuh hati hingga saya tidak pernah bosan membaca lagi dan lagi

    ReplyDelete
  3. Terima kasih analisisnya. Lengkap sekali sudut pandangnya.

    ReplyDelete
  4. Terima kasih banyak..
    Sangat sangat menyentuh hati dan
    Sudut pandangnya sangat lengkap 👌💯

    ReplyDelete
  5. Bagus dan lengkap analisanya. Penafsiran puisi dilakukan dari berbagai pisau bedah. Bagi mahasiswa ini contoh yang baik untuk dipelajari.

    ReplyDelete
  6. Puisi yang paling saya suka...

    ReplyDelete

-berkomentarlah dengan baik sesuai topik
-menaruh link aktif dianggap spam