A. Unsur IntrinsikHAMPA
Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.Karya: Chairil Anwar
- Tema
- Pemilihan Kata ( Diksi )
- Perasaan
- Nada dan Suasana
Didalam puisi diatas penyair menggunakan nada-nada yang lugas dan tepat dan menggunakan penekanan-penekanan di beberapa kata yang ditunjukkan untuk memperjelas maksud dari puisi tersebut.
b) Suasana
Suasana yang tergambar dari puisi diatas adalah suasana yang tak menentu gundah gulana menantikan seseorang yang sangat kita nantikan namun tak kunjung memberikan kepastian.
- Bahasa Figuratif ( Majas )
- Amanat
B. Unsur Ekstrinsik
- Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Puisi
- Biografi Penyair
Chairil lahir dan dibesarkan di Medan, sebelum pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dengan ibunya pada tahun 1940, dimana ia mulai menggeluti dunia sastra. Setelah mempublikasikan puisi pertamanya pada tahun 1942, Chairil terus menulis. Pusinya menyangkut berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme, hingga tak jarang multi-interpretasi.
Chairil Anwar dibesarkan dalam keluarga yang kurang harmonis. Orang tuanya bercerai, dan ayahnya menikah lagi. Ia merupakan anak satu-satunya dari pasangan Toeloes dan Saleha, keduanya berasal dari kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Jabatan terakhir ayahnya adalah sebagai bupati Inderagiri, Riau. Ia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Sebagai anak tunggal, orang tuanya selalu memanjakannya.Namun, Chairil cenderung bersikap keras kepala dan tidak ingin kehilangan apa pun; sedikit cerminan dari kepribadian orang tuanya.
Chairil Anwar mulai mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Ia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Saat usianya mencapai 18 tahun, ia tidak lagi bersekolah. Chairil mengatakan bahwa sejak usia 15 tahun, ia telah bertekad menjadi seorang seniman.
Pada usia 19 tahun, setelah perceraian orang tuanya, Chairil bersama ibunya pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dimana ia berkenalan dengan dunia sastra; walau telah bercerai, ayahnya tetap menafkahinya dan ibunya. Meskipun tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, ia dapat menguasai berbagai bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Jerman. Ia juga mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar du Perron. Penulis-penulis tersebut sangat memengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung terhadap tatanan kesusasteraan Indonesia.
Semasa kecil di Medan, Chairil Anwar sangat dekat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil Anwar. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:
Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta
Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa membilang nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.
Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya.
Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.
Rakannya, Jassin pun punya kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”
Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya.
Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta pisah. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.
Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis.
Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik.
- Makna dari puisi di atas
Sepi di luar. Sepi menekan-mendesakLarik-larik di atas menggambarkan suasana sepi yang teramat sangat. Sepi yang tadinya hanya di luar sampai masuk hingga menekan, mendesak ke dalam, seakan teramat besar dan berat sepi itu. Bahkan sepi yang teramat sangat itu digambarkan Chairil hingga pepohonan saja tidak bergerak sedikit pun, sampai ke puncak pohon. Tidak ada angin semilir yang bisa membuat suara gesekan daun. Keadaan teramat sepi. Hingga sepi itu memagut, seakan menggigit atau memeluk dengan erat dan tak satu pun yang kuasa untuk terhindar dari sepi itu atau bahkan menolong seseorang untuk terhindar dari sepi itu.
Lurus kaku pepohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak . Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. MenantiLarik di atas bisa menggambarkan bentuk kekesalan Chairil atas penantian-penantian yang dilakukannya terhadap wanita yang dimaksudnya dalam puisi ini. Dan juga bisa menunjukkan keputus-asaan Chairil dengan perasaannya, yang akhirnya hanya akan berujung pada sepi.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekikLewat larik di atas, Chairil merasakan sebuah penantian atas wanitanya yang semakin lama semakin membuat perasaannya sulit. Memberatkan pikirannya, menjadi beban bagi dirinya (seperti ada beban di pundak yang sangat berat, hingga pundak mencengkung menahan beban itu).
Memberat-mencengkung pundak
Sampai binasa segala. Belum apa-apaLarik di atas seolah mengungkapkan, akibat terlalu sulitnya perasaan yang Chairil rasakan, dan hanya sepi yang menjadi jawaban, maka perasaan itu menjadi binasa, putus asa, kosong, hampa. Belum ada hasil yang ia dapati dari rasanya pada sang wanita, entah itu rasa ingin memiliki, atau sekadar kerinduan, namun kehampaan yang teramat yang ia rasakan, membuat segala harapan seakan binasa.
Udara bertuba. Setan bertempikMenggambarkan suasana yang sudah sangat tidak nyaman. Udara seakan menjadi penuh racun, sesak, dan setan-setan bersorak riuh, berteriak, membuat suasana semakin kacau. Seakan menjadi gelap. Keadaan hampa yang digambarkan Chairil begitu dalam, sunyi, dan suram. Ini sepi terus ada. Dan tiada – sepi itu tak kunjung hilang, bahkan Chairil berpikir, hidupnya memang terkukung sepi, sepi itu terus ada hingga menjadi kebiasaan, dan seakan tiada sepi. Karena memang sepi sudah menjadi bagian darinya. Seperti sudah pasrah terbiasa.
Ini sepi terus ada. Dan tiada
Udara bertuba. Setan bertempik
Dari keseluruhan analisis tubuh puisi HAMPA, jelas puisi ini menggambarkan sebuah kedukaan perasaan seseorang yang tertimpa sepi dalam segala penantiannya. Kekosongan hatinya yang ia rasakan begitu sangat, dan terlebih ketika ia teringat pada wanita yang disukainya. Seakan kehampaan itu semakin menjadi-jadi karena tidak bisa memiliki wanita itu. Bisa jadi, seperti menggambarkan juga tentang cinta sepihak. Dan pada akhirnya ia hanya akan menjadi biasa dengan sepi yang terus ada itu.
Lewat puisi HAMPA ini, Chairil begitu dalam menggambarkan bentuk kesepian, kehampaan yang ia rasakan. Bentuk kerinduan yang sunyi terhadap Sri. Dan perlu diketahui, memang saat menulis puisi ini, Chairil sedang menaruh hati pada Sri.
Terimakasih.....
ReplyDeletejadi tema nya apa ya?? maaf baru belajar
ReplyDeleteTerimakasih sudah menjelaskan makna puisinya 😁😁😁😁
ReplyDeleteTerimakasih sudah membantu
ReplyDeleteKata kata berkonotasinya apa ya
ReplyDeleteApakah ada tips peragaan yg baik dgn puisi ini!?
ReplyDeleteSayang saat penantian kesepian. Tuhan Allah tak pernah terucap. Mungkin penysir Chairil Anwar kurang dekat dg Tuhannya. Ya.
ReplyDeleteEmpati dari puisi ini apa kak??
ReplyDelete