Analisis Puisi Makna Sebuah Titipan Karya W.S. Rendra

 Makna Sebuah Titipan
Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan
bahwa mobiku hanya titipan-Nya
bahwa rumahku hanya titipan-Nya
bahwa hartaku hanya titipan-Nya
bahwa putraku hanya titipan-Nya
Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka

kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan,
Seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku.
Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika:
aku rajin beribadah, maka selayaknya derita menjauh dariku, dan
Nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih.
Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”, dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku,
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah…
“ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”


Karya: W.S. Rendra
Kajian Struktural Puisi

Kajian struktural merupakan suatu analisis puisi berdasarkan tema, pengimajian, perasaan penyair, nada (tone), amanat, versifikasi (rima, ritma, metrum), dan hal-hai yang bersifat instrinsik lainnya. Jika dilihat berdasarkan uraian tersebut, puisi Makna Sebuah Titipan karya W.S. Rendra memiliki hasil kajian struktural sebagai berikut:

  • Tema: Ketuhanan
  • Perasaan penyair
Penyair merasa sedih ketika semua yang menjadi miliknya (kebahagiannya) merupakan titipan Tuhan yang kapan saja bisa diambil oleh Tuhan, meskipun ia sebenarnya menyadari bahwa semuanya adalah titipan Tuhan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan puisi berikut:
“Mengapa hatiku justru terasa berat ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya?”

  • Nada (tone)
Puisi di atas bernada sendu, suara tinggi dan agak lantang karena berdasarkan isinya, penyair mencurahkan isi hatinya kepada Tuhan (protes kepada Tuhan). Penyair memohon kepada Tuhan agar ia selalu diberikan apapun yang ia minta, karena penyair telah berbuat baik dan selalu menjalankan perintah Tuhan. Seperti halnya pada kutipan puisi tersebut:
“aku rajin beribadah, maka selayaknya derita menjauh dariku, dan
Nikmat dunia kerap menghampiriku”

  • Amanat
Berdasarkan puisi Makna Sebuah Titipan karya W.S. Rendra, amanat yang dapat diambil adalah:
  1. Sebagai manusia, kita hendaknya senantiasa mensyukuri nikmat/pemberian Tuhan
  2. Kita harus menyadari bahwa sesungguhnya segala yang kita miliki merupakan titipan dari Tuhan, sehingga sudah menjadi kewajiban kita untuk selalu menjaga titipan Tuhan
  3. Selalu menjadi manusia yang ikhlas dalam menerima anugerah (hadiah) maupun cobaan (derita)
  4. Kita harus selalu mendekatkan diri kepada Tuhan secara ikhlas
  • Diksi
Pada puisi Makna Sebuah Titipan ini W.S. Rendra menggunakan diksi yang sama sekali tidak rumit. Penyair lebih memilih kata-kata umum, namun tidak sampai mengurangi keindahan puisi ini. Misalnya pada baris pertama dan kedua yang berbunyi :
 “Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku
Bahwa sesungguhnya ini hanya titipan”
Pada kedua baris di atas , penyair menggunakan kata sering kali, ketika, memuji, milikku, dan titipan. Kata-kata tersebut merupan kata-kata yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu , pada baris selanjutnya terdapat kata-kata seperti Gusti (sebutan untuk Tuhan),petaka(bencana, kecelakaan), dan popularitas(perihal kepopuleran). Jadi pada puisi ini, penyair lebih menggunakan kata-kata yang tidak asing di dengar dan kata-kata yang  lebih sederhana.
  • Gaya Bahasa
 W.S.  Rendra sering juga menggunakan gaya bahasa dengan tujuan untuk memperindah syair-syairnya dan agar maksud puisinya dapat dipahami oleh pembaca. Gaya bahasa yang sering ia gunakan adalah metafora.
“Seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku.”
(Baris kedelapan bait kedua)
“Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika”
(Baris kesembilan bait kedua)
“Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih.”
(Baris kedua belas  bait kedua)
Dengan metafora tersebut, pengarang membandingkan benda-benda seperti “derita”, “keadilan” dan “kasih” dengan benda lain seperti “hukuman” dan “matematika”. Benda-benda yang dibandingkan pada dasarnya memiliki makna yang berbeda. Namun, mereka memiliki hubungan atau keterkaitan makna yang dapat dirasakan oleh pembacanya.
  • Bait        :  2 bait.
  • Baris        : 29 baris.
Puisi W.S. Rendra tersebut terdiri atas dua bait. Bait pertama terdapat tiga belas baris, sedangkan bait kedua terdapat lima belas baris. Puisi tersebut diawali dengan huruf besar. Namun, tidak selalu di setiap baris diawali dengan huruf besar. Ada pula di setiap barisnya diawali dengan huruf kecil. Hal ini dikarenakan baris yang diawali dengan huruf kecil merupakan lanjutan dari baris sebelumnya. Untuk leih jelasnya, dapat dilihat kutipan puisi tersebut pada bait pertama:
“Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan
bahwa mobiku hanya titipan-Nya
bahwa rumahku hanya titipan-Nya
bahwa hartaku hanya titipan-Nya
bahwa putraku hanya titipan-Nya
Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?
…”
Dari kutipan puisi di atas, dapat diketahui bahwa dalam menulis puisi tidak selalu diawali dengan huruf besar di setiap barisnya karena bisa saja pada baris berikutnya sebenarnya masih lanjutan dari puisi paa baris sebelumnya. Apabila kutipan puisi tersebut diberi titik (.) atau diubah ke dalam bentuk kalimat, dapat menjadi seperti berikut:
“Sering kali aku berkata kepada orang yang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya mobil, rumah, harta, putraku hanya titipan-Nya.
Tetapi, mengapa aku tak pernah menanyakan mengapa Dia menitipkan padaku.
Untuk apa Dia menitipkannya padaku?
Apa yang harus kulakukan terhadap milik-Nya ini?
Apakah aku berhak atas titipan-Nya?
Mengapa hatiku merasa berat ketika titipan itu diambil oleh-Nya?
Ketika titipan itu diminta kembali oleh Tuhan, kusebut itu musibah
kusebut itu ujian, kusebut itu petaka

aku memanggilnya dengan sebutan apa saja hingga aku dapat melukiskan bahwa
itu adalah derita
Saat aku berdoa, kuminta titipan seperti yang kuinginkan
aku ingin memiliki banyak harta,
ingin memiliki mobil yang lebih banyak,
punya lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas,
dan ku selalu diberi kesehatan, dijauhi dari kemiskinan
Seakan hukuman merupakan derita untukku.
Seakan semua harus berjalan seperti matematika:
Jika aku rajin beribadah, maka selayaknya aku tak menderita, dan
Aku selalu memperoleh nikmat dunia.
Aku memperlakukan-Nya bukan seperti Kekasih, melainkan mitra dagang.
Aku meminta-Nya membalas “kebaikanku”, dan menolak keputusan yang tak
sesuai dengan keinginanku,
Tuhan, sudah setiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk
beribadah….
“ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”
Demikian pula pada baris-baris dan bait-bait lainnya pada puisi tersebut merupakan satu kesatuan.
  • Tipografi
Tipografi disebut juga ukiran bentuk puisi. Tipografi adalah tatanan larik,bait,kalimat,frase,kata, dan bunyi untuk menghasilkan suatu bentuk fisik yang mampu mendukung isi, rasa dan suasama.
Dilihat dari polanya puisi tersebut dapat dikategorikan sebagai puisi bebas atau tipografi bebas. Jumlah larik dan baitnya tidak teratur atau bebas sesuai dengan keinginan penyair. Apalagi sajaknya. Sajak pada puisi tersebut juga bebas. Puisi ini tidak begitu menekankan pada keindahan bunyinya, namun lebih menonjolkan maksud yang ingin disampaikan oleh penyair.

  • Citraan
Dalam puisi Makna Sebuah Titipan ini terdapat beberapa pencitraan antara lain pengelihatan,perasa dan pendengaran. Pengelihatan terlihat pada larik:
 “bahwa mobilku,rumahku, putraku”. Karena seakan-akan kita melihat mobil,rumah dan putra penyair.
Pendengaran terlihat pada larik :
“Gusti,padahal tiap hari kuucapkan,hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah’’.Karena kata kuucapkan itu adalah suara penyair kepada Gusti/Tuhan.
Perasa terlihat pada larik :
“Mengapa hatiku justru terasa berat ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya” . Larik ini menunjukkan perasaab berat penyair ketika titipan-titipan Tuhan diambil lagi kepada-Nya.

  • Kata Konkret
Kata konkret(imajinasi) adalah  penggunaan kata-kata yang tepat(diksi yang baik) atau bermakna denotasi oleh penyair.
Dalam puisi Makna Sebuah Titipan penyair hanya menggunakan kata yang bermakna denotasi.

  • Irama
Irama    : huruf vokal pada akhir suku kata yang paling dominan.
  • Makna puisi
Kebahagiaan dalam puisi di atas digambarkan sebagai barang titipan dari Tuhan. Semua barang yang menjadikan manusia merasa senang merupakan titipan Tuhan. Seperti halnya mobil, rumah, harta hingga anak sesungguhnya adalah milik Tuhan yang dapat Ia ambil kapan pun.
Di samping itu, penyair menganggap jika titipannya diambil oleh Tuhan, maka ia beranganggapan bahwa seolah-olah ia sedang mengalami penderitaan. Ketika hal itu sedang dialaminya, penyair memohon kepada Tuhan untuk diberikan kebahagiaan. Berbagai cara dilakukannya, dengan menjalankan segala perintah-Nya. Dalam hal ini, penyair memperlakukan Tuhan sebagai mitra dagang yang selalu memberikan kebahagiaan kepada manusia jika manusia itu juga mau mengikuti perintah-Nya. Pada dasarnya memang begitulah sifat manusia. Ketika manusia sedang merasa bahagia, ia lupa akan nikmat Tuhan yang diberikan kepada-Nya sehingga ia lalai untuk mengucapkan “terima kasih” kepada-Nya. Demikian juga halnya dengan W.S. Rendra, karena merasa titipannya diambil oleh Tuhan, maka ia mendekatkan diri kepada Tuhan agar semua nafsu (keinginannya) dapat dikabulkan.
“Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,”
Apabila pencarian arti puisi Makna Sebuah Titipan ditempuh melalui pembacaan heuristik dan pencarian maknanya melalui pembacaan hermeneutik, maka penjelasan ilustrasinya seperti berikut ini:
(Sudah) Sering kali aku berkata,(di saat) ketika orang memuji milikku
(aku mengatakan kepada mereka) bahwa sesungguhnya ini hanya titipan
bahwa mobiku (yang mewah,) rumahku (yang megah,) hartaku (yang melimpah, hingga) putraku (yang sangat kusayangi) hanya titipan-Nya
Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan(nya) padaku?
Untuk apa Dia menitipkan (semua) ini padaku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas (segala) sesuatu yang bukan (menjadi) milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya?
Ketika diminta kembali (kepada-Nya), kusebut itu sebagai musibah
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai (mala) petaka

kusebut (itu) dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin (punya) lebih banyak harta,
ingin (memiliki) lebih banyak mobil,
lebih banyak rumah,
(serta) lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan,
Seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku.
Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika:
(jika) aku rajin beribadah, maka selayaknya derita menjauh dariku, dan
Nikmat dunia kerap (kali) menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih.
Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”, dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku,
Gusti, padahal (se)tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah…
“ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”

Pencarian arti secara heuristik tersebut baru menjelaskan arti kebahasan puisi objek kajian. Makna puisinya harus dicari dengan pembacaan hermeneutik, pembacaan yang diberi tafsiran sesuai dengan tata aturan sastra sebagai sistem semiotik.
Pada awal membaca puisi di atas kita sudah dibuat bertanya, “Kepada siapa puisi itu ditujukan?” Siapakah ‘-Nya’ dalam puisi itu? Seseorang, kekasih, atau Tuhan? Kata ganti ‘-Nya’ yang dimaksud penyair ternyata adalah kata ganti Tuhan, terlihat dari penulisannya dengan huruf besar. Puisi Makna Sebuah Titipan pada hakekatnya diciptakan oleh penyairnya untuk mendialogkan perasaannya kepada Tuhan.
W.S. Rendra membuka puisi Makna Sebuah Titipan dengan perasaan yang sedang sedih. Ia merasakan kesedihan yang luar biasa karena ditinggalkan oleh orang yang ia cintai, meskipun ia tahu bahwa semua itu sebenarnya hanyalah titipan Tuhan untuknya. Oleh karena itu, ia melakukan suatu pengaduan kepada Tuhan tentang segala yang dihadapinya.
Bagi penyair, Tuhan merupakan sosok yang berhak memberi serta mengambil segalanya dari penyair. Hingga suatu ketika penyair berpikir untuk apa sesungguhnya Tuhan menitipkan semua kepada penyair jika titipan yang Ia berikan kemudian tiba-tiba Ia ambil. Penyair beranggapan bahwa Tuhan tidak seharusnya mengambil semua yang dimilikinya karena selama ini penyair sudah melakukan perintah-perintah Tuhan.


B. Unsur Ektrinsik Puisi

Unsur ekstrinsik puisi adalah usur yang berada diluar naskah puisi. Bisa dari dalam diri penulis maupun lingkungan tempat sang penulis itu menulis puisinya. Adapun unsure ekstrinsik dalam puisi Makna Sebuah Titipan adalah :

  • Tujuan
Penyair memliki tujuan agar pembaca atau pendengar dapat merasakan hal yang sama seperti yang penyair rasakan serta memiliki kesadaran bahwa segala sesuatu yang kita miliki sekarang hanyalah titipan-Nya.
  • Latar Belakang Penyair
Willibrordus Surendra Broto Rendra atau populer dengan nama W.S. Rendra lahir 7 November 1935 di Solo, Jawa Tengah. Ia dikenal sebagai sastrawan ternama yang mendapat julukan 'si Burung Merak' dari sahabatnya, (alm.) Mbah Surip. Kabarnya, inisial W.S berubah menjadi Wahyu Sulaiman, setelah Rendra menjadi seorang muslim.

Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya merupakan seorang dramawan tradisional dan guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa di sekolah Katolik, Solo, sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton Surakarta. Rendra semula adalah seorang Kristen, tetapi kemudian ia menjadi muallaf yang memeluk Islam ketika menikahi istrinya yang kedua.

Pria yang pernah menikah 3 kali ini mulai mengenal sastra saat kuliah di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia aktif menulis ratusan cerpen dan esai di berbagai majalah, ia juga menciptakan sajak dan lagu.

Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia masih duduk di bangku SMP. Saat itu ia menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk berbagai kegiatan sekolah. Ia juga mementaskan beberapa drama karyanya dan tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat.

Puisi Rendra berhasil dipublikasikan ke media massa untuk pertama kalinya di majalah Siasat pada 1952. Setelah itu puisi-puisinya lancar mengalir muncul di majalah lain, terutama majalah era 60-an dan 70-an, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Selain di dalam negeri, karya-karya Rendra juga terkenal di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India.

Pria asal Solo ini juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995).

Sementara itu, drama pertama Rendra yang ia pentaskan ketika SMP adalah Kaki Palsu. Kemudian ketika SMA, drama Orang-orang di Tikungan Jalan berhasil mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta.

Rendra sempat mengecap pendidikan di Amerika pada tahun 1964-1967. Sepulangnya dari Amerika Serikat, Rendra sempat mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan juga Bengkel Teater Rendra di Depok. Rendra juga aktif membintangi sejumlah pertunjukan teater, yang di antaranya adalah Orang-orang di Tikungan Jalan, SEKDA, Mastodon dan Burung Kondor, Hamlet, Macbeth, Oedipus Sang Raja, Kasidah Barzanji dan Perang Troya Tidak Akan Meletus.

Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern, Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.

Rendra tutup usia pada 6 Agustus 2009. Ia menghembuskan napasnya yang terakhir setelah sebelumnya sempat dirawat di RS Harapan Kita dan RS Mitra Keluarga, Depok, akibat komplikasi.

PENDIDIKAN

  1. SD-SMU Katolik, St. Yosef, Solo (tamat pada tahun 1955)
  2. Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (tidak tamat)
  3. Mendapat beasiswa American Academy of Dramatical Art (1964-1967)
KARIR
  1. Sastrawan
PENGHARGAAN
  1. Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954)
  2. Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956)
  3. Hadiah Puisi dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (1957)
  4. Anugerah Seni dari Departemen P & K (1969)
  5. Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970)
  6. Hadiah Seni dari Akademi Jakarta (1975)
  7. Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976)
  8. Penghargaan Adam Malik (1989)
  9. The SEA Write Award (1996)
  10. Penghargaan Achmad Bakri (2006)
  • Nilai-nilai yang terkandung dalam puis
I. Nilai Personal

a) Perkembangan Emosional
Bila ditinjau dari segi ini, titik emosionalnya akan terasa pada bagian bait/syair yang berbunyi
Mengapa hatiku justru terasa berat ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka
 Dalam hal ini, pembaca diajak untuk ikut merasakan betapa berat rasa hati penyair ketika Tuhan mengambil hal-hal yang telah dititipkan kepadanya.

b) Perkembangan Intelektual
Pada tahap ini anak-anak/pembaca diajak untuk berpikir tentang hubungan sebab-akibat pada bait satu dengan bait lain, begitu pula tentang alur dari puisi tersebut. Dalam puisi tertera bahwa apabila kita rajin beribadah akan mendapat apa yang kita inginkan dan nikmat duniapun menghampiri.
aku rajin beribadah, maka selayaknya derita menjauh dariku, dan
Nikmat dunia kerap menghampiriku.

c) Pertumbuhan Rasa Etis dan Religius
Dengan membaca puisi tentang Makna Sebuah Titipan, bisa memupuk ketakwaanterhadap kebesaran Sang Kuasa tentang kuasa-Nya, kebaikan-Nya dan segala sesuatu di dunia ini akan kembali pada-Nya.

II. Nilai Pendidikan

a) Rasa beribadah dengan ikhlas menjaga titipan Tuhan
Hal ini terlihat dari larik-larik puisi dimana menjelaskan bahwa semua yang kita miliki sekarang hanyalah Titipan sehingga ketika akhirnya diambil kembali sudah seharusnya kita dengan sabar dada dan lapang menerimanya. Kitapun harus taat ibadah sebagai bukti takwa kita kepada-Nya dan agar di ridhoi segala yang kita hajatkan.

b) Perkembangan Nilai Keindahan
Hal ini tampak pada pilihan diksi yang digunakan si penulis/pengarang dalam memoles syair pada puisi tersebut. Apalagi bila ditambah dengan pembacaan yang intonasi dan penjiwaan yang sesuai dengan temanya. Pasti hal tersebut akan lebih menambah kesan haru dan indah dari pendengar.
SHARE TO »

4 Responses to "Analisis Puisi Makna Sebuah Titipan Karya W.S. Rendra"

  1. Terus terang saya heran, bagaimana mungkin anda menganalisa sebuah puisi tanpa tahu kapan puisi itu ditulis..? Karena waktu penulisan puisi sangat penting dan berperan dalam puisi. Kenapa penting..? karena saya meyakini kondisi, situasi, peristiwa sosial, politik, ekonomi dan budaya dalam suatu periode sedikit banyak akan mempengaruhi suasana hati dan ekspresi kreativitas seorang penyair.
    Puisi ini memang banyak diedarkan, namun sangat sulit mencari tahu kapan ditulisnya, akhirnya banyak orang yang "mngasumsikan" ditulis di ranjang terakhir sang maestro (karena kebetulan bernuansa keTuhanan...)

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. Puisi yang sangat menyentuh.
    Bagus

    ReplyDelete

-berkomentarlah dengan baik sesuai topik
-menaruh link aktif dianggap spam